[No title]
Siaran Pers KontraS
Peringatan Hari HAM Sedunia
10 Desember 2014
Peringatan Hari HAM Sedunia
10 Desember 2014
HAM hari ini: Siapa yang akan bertanggung jawab?
Perayaan Hari HAM Sedunia yang jatuh pada 10
Desember 2014 masih diwarnai dengan tragedi-tragedi kemanusiaan yang
telah mereduksi agenda akuntabilitas negara. Sektor-sektor publik yang
layak
mendapat sorotan akuntabilitasberdimensi HAM seperti pembangunan,
pemerintahan, politik, hukum, etika, bisnis, dan aktivisme masih minim
mendapat perhatian pemerintah. Pada catatan HAM kali ini,
KontraS secara khusus akan mengangkat agenda akuntabilitas di bawah
kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
HAM hari ini masih belum banyak berubah dari
realita-realita HAM yang dihadapi masyarakat. Reproduksi kekerasan,
diskriminasi, eksploitasi, ketidakmauan dan ketidakmampuan negara untuk
menjamin
perlindungan HAM masih menjadi pekerjaan rumah yang belum diseriusi
hingga kini.
Dalam catatan berikut, KontraS akan menggunakan 3
unsur konstituen elemen sebagai dimensi utama akuntabilitas negara:
tanggung jawab negara (state responsibility), tanggung jawab untuk
menjelaskan atau membenarkan tindakan (state answerability), dan kemampuan negara untuk menegakkan kebijakan-kebijakannya (state enforceability)(UN,
2013).Ketiga konstituen elemen ini
akan mengayakan 3 prinsip utama kewajiban negara dalam isu HAM:
penghormatan, perlindungan, pemenuhan HAM. Keenam skema tanggung jawab
ini, akan menjadi ukuran strategis ke depan KontraS dalam
melihat performa Jokowi untuk isu HAM di Indonesia.
Pertama, dalam kerangka state responsibility,
Indonesia di bawah rezim Jokowi masih menunjukkan karakter
ambiguitasnya. Ambiguitas ini muncul dan menguat jika kita melihat
beberapa
tren kebijakan publik.
Ada indikasi pemerintah mendukung jaminan
perlindungan toleransi dalam skup kebebasan beragama, berkeyakinan, dan
beribadah. Jaminan ini diperkuat dengan beberapa pernyataan yang telah
dilansir
oleh Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin hingga Polri dalam membangun
semangat toleransi publik. Nampaknya, pemerintah kini tidak tersandera
dengan model relasi politik diskriminatif pada
kelompok agama dan kepercayaan minoritas. Langkah ini layak mendapatkan
apresiasi dan dukungan publik.
Kedua, namun, masih banyak reaksi negara (state answerability)
yang menunjukkan adanya intervensi berlebihan dalam corak akuntabilitas
HAM di sektor perlindungan hak-hak sipil dan
politik: rencana lanjutan eksekusi hukuman mati terhadap 20 terpidana
di tahun 2015 (pelanggaran terhadap hak atas hidup), insiden penembakan
brutal 7 warga sipil (8/12) di Paniai (pembunuhan
sewenang-wenang), intervensi negara dalam keberlangsungan partai
politik (potensi pelanggaran kebebasan berserikat dan berkumpul),
pembebasan bersyarat Pollycarpus Budi Hari dengan kemandekan kasus
penuntasan pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, hingga agenda
resolusi konflik yang didominasi dengan kebijakan politik keamanan
konservatif melalui perluasan komando teritorial di Papua.
Di perayaan Hari HAM Sedunia ini, Jokowi pun
menjanjikan untuk mempertimbangkan pemberian grasi terhadap pembela HAM
Eva Bande yang telah mendekam ditahanan sejak Januari 2014. Rencana
pemberian
grasi kepada Eva Bande, seorang aktivis HAM yang aktif terlibat dalam
advokasi petani di Sulawesi Tengah, harus dipotret dalam fakta yang
membuktikan adanya kontinuitas praktik kriminalisasi
terhadap para pembela HAM di Indonesia. Pemberian grasi mengisyaratkan
secara hukum bahwa apa yang dilakukan Eva Bande, dalam kerja-kerja
kemanusiaannya, adalah kejahatan di depan mata penguasa.
Tren serupa bahkan terjadi pada status para tahanan politik di Maluku
dan Papua.
Ketiga, KontraS memandang bahwa agenda state enforceability yang terkait erat dengan agenda state responsibility
masih belum mendapat ruang prioritas rezim Jokowi. Impunitas
di sektor hak-hak sipil dan politik, maupun di hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya masih marak terjadi. Pada pidato perayaan Hari HAM Sedunia
hari ini di Yogyakarta, Jokowi menerangkan akan
menggunakan mekanisme rekonsiliasi dan pengadilan HAM dalam
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat.
Fakta bahwa kedua mekanisme ini selalu didorong
masyarakat sipil untuk ditempuh negara adalah tidak terbantahkan. Adanya
hambatan politik di level institusional negara untuk menuntaskan
kasus-kasus pelanggaran HAM pun bukan menjadi hal yang baru terjadi di
Indonesia. Akan jauh lebih bijaksana apabila Jokowi mampu membuat
terobosan-terobosan yang melampaui janji politiknya,
sehingga pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Tedjo Edhy
Purdjiatno (Menkopolkam) dan HM. Prasetyo (Jaksa Agung) yang menyamakan
advokasi penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat
serupa tari poco-poco dan belum ada instruksi Jokowi untuk
menindaklanjuti ketujuh berkas penyelidikan Komnas HAM untuk kasus-kasus
pelanggaran HAM yang berat tidak terulang lagi.
Janji Jokowi untuk memberikan perlindungan hak-hak
rakyat pada isu ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) pada pidato
perayaan Hari HAM, harus dikonkretkan dengan peta penyelesaian konflik
dan
kekerasan di sektor bisnis dan agraria. Kejadian kekerasan aparat di
Rembang adalah contoh aktual bagaimana negara masih lamban mewujudkan
jaminan perlindungan HAM di sektor ekosob. Undangan Jokowi
terhadap para investor untuk membangun Indonesia harus memberikan
manfaat yang setinggi-tingginya kepada rakyat, bukan mengorbankan
hak-hak rakyat demi investasi pro-pasar.
Untuk itu, KontraS mengajak kepada seluruh masyarakat Indonesia, menagih janji akuntabilitas negara dalam beberapa isu berikut:
1. Negara berkewajiban untuk menggunakan seluruh
instrumen akuntabilitas negara dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran
HAM yang berat. Janji-janji politik tidak boleh berhenti sebagai
seremonial tahunan, namun aktualisasi janji-janji politik harus segera
diturunkan dalam kebijakan-kebijakan hukum dan HAM untuk menghormati,
melindungi, dan memenuhi HAM yang sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum internasional.
2. Tanggung jawab negara (state responsibility), pembenaran tindakan negara (state answerability) dan kemampuan negara untuk menegakkan hukum (state enforceability) harus
dikelola dengan kerangka penegakan hukum dan jaminan hak asasi manusia.
3. Negara harus menjamin bahwa hukum harus
dijadikan paradigma utama dalam jaminan perlindungan HAM. Hukum tidak
boleh digunakan untuk membatasi hak-hak rakyat dalam mendapatkan akses
publik,
sumber daya alam, termasuk membatasi kebebasan sipil dan politik.
4. Mereka yang mendapat mandat untuk bekerja
menegakkan hukum setinggi-tingginya di Indonesia harus memiliki komitmen
hak asasi manusia. Individu-individu yang tidak memiliki komitmen
tersebut
tidak pantas untuk diberikan mandat, kewenangan, bahkan melanjutkan
kepercayaan publik dalam urusan HAM.
5. Negara harus bisa membuka akses seluas-luasnya
kepada mereka yang tidak memiliki akses terhadap keadilan; menggunakan
mekanisme akuntabilitas yang transparan, sehingga impunitas dalam wajah
kekerasan masa lalu, maupun impunitas dalam wajah brutalitas kekerasan
para aparat keamanan dan kelompok-kelompok bisnis bisa diselesaikan
dengan tidak mencederai rasa keadilan korban.
KontraS sekali lagi mengajak seluruh warga negara
Indonesia turut memantau, terlibat aktif dengan menagih janji-janji
politik, dan memberikan masukan kepada pemerintahan Jokowi-Kalla dalam
mendorong agenda akuntabilitas HAM yang luas dan menyeluruh.
Partisipasi publik yang kuat akan memberikan dampak signifikan dalam
dalam pemajuan HAM di Indonesia.
Jakarta, 9 Desember 2014
Haris Azhar, SH, MA
Koordinator KontraS
Post a Comment for " "