DEMOKRASI DALAM ISLAM
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga
negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan
keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga
negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam
perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup
kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik
kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama.(Sumber:Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politik negara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi. Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama.(Sumber:Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)
DEMOKRASI DAN ISLAM
Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai
bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin
melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju
demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup
terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya
Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.
Peraih Nobel Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian Drama
mengidentifikasi seperangkat modernisasi ideal termasuk di dalamnya
demokrasi. Berkenaan dengan agama secara umum dan Islam khususnya, dia
mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu, Islam dan Budha
tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh, doktrin Islam,
dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk mendukung
reformasi sejajar dengan idealisme modernisasi.
Apabila demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam dan
Budha dapat memberikan dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi
khususnya reformasi egalitarian. John O. Voll dan John L. Esposito, dua
pakar yang menjembatani Barat dan Timur tidak sepakat atas pandangan
bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu. Menurut kedua pakar ini
dalam khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan fondasi bagi
muslim kontemporer untuk mengembangkan program demokrasi Islam yang
otentik.
Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller
(mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di
Jurnal Foreign Affairs:
“Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur utama Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”.
Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan
khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan
demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak
terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura
(musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi,
Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh Yusuf Qardawi serta
sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah
berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling
pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan
demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu
tergantung dan terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh
sejumlah kalangan.
Menurut Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai “pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek-
aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih
penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila
kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan
kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua
aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang
berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden
Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.
PRINSIP DEMOKRASI DALAM ISLAM
Sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Islam memberikan
prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola organisasi atau
pemerintahan. Al-qur'an dan As-sunnah dalam permasalahan ini telah
mengisyaratkan beberapa prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan
dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, bernegara
termasuk di dalamnya ada system pemerintahan yang nota-benenya merupakan
kontrak sosial. Prinsip-prinsip atau nilai-nilai tersebut antara lain:
prinsip Tauhid, As-syura (bermusyawarah) Al-'adalah (berkeadilan)
Hurriyah Ma'a Mas'uliyah (kebebasan disertai tanggung jawab) Kepastian
Hukum, Jaminan Haq al Ibad (HAM) dan lain sebagainya.
Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid merupakan salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan
Islam (pemerintahan Islam). Sebab perbedaan akidah yang fundamental
dapat menjadi pemicu dan pemacu kekacauan suatu umat. Oleh sebab itu,
Islam mengajak kearah satu kesatuan akidah diatas dasar yang dapat
diterima oleh semua lapisan masyarakat, yaitu tauhid. Dalam alqur'an
sendiri dapat ditemukan dalam surat An-nisa' 48, Ali imron 64 dan surat
al Ikhlas.
Prinsip Musyawarah (Syuro)
Musyawarah berarti mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan
pendapat. Dalam menetapkan keputusan yang berkaitan dengan kehidupan
berorganisasi dan bermasyarakat, paling tidak mempunyai tiga cara:
a.Keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
b.Kepeutusan yang ditetapkan pandangan minoritas.
c.Keputusan yang ditetapkan oleh pandangan mayoritas
Ini menjadi ciri umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa
"demokrasi tidak identik dengan syuro" walaupun syuro dalam Islam
membenarkan keputusan pendapat mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak.
Sebab keputusan pendapat mayoritas tidak boleh menindas keputusan
minoritas, melainkan tetap harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang
minoritas. Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas tidak boleh
berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran ada
beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah
dalam konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga
dan anak-anak, seperti menyapih (berhenti menyusui) anak.
Hal ini sebagaimana terdapat pada surat al-Baqarah ayat 233. "apabila suami-istri ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya". Kedua: musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu dengan anggota masyarakat, termasuk didalamnya dalam hal berorganisasi. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat 158. "bermusyawarahlah kamu (Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya".
Meskipun terdapat beberapa Al-qur'an dan Assunnah yang menerangkan
tentang musyawarah. Hal ini bukan berarti al-Qur'an telah menggambarkan
system pemerintahan secara tegas dan rinci, nampaknya hal ini memang
disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan sekaligus medan
kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem
pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin
ini salah satu sikap demokratis Tuhan terhadap hamba-hambanya.
Prinsip Keadilan (Al-'adalah)
Dalam memanage pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan,
sebab pemerintah dibentuk antara lain agar tercipta masyarakat yang adil
dan makmur. Tidaklah berlebihan kiranya jika al- Mawardi memasukkan
syarat yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil.
Dalam al-Qur'an, kata al-'Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua
puluh delapan kali. Paling tidak ada empat makna keadilan yang
dikemukakan oleh ulama :
- Pertama, adil dalam arti sama. Artinya tidak menbeda-bedakan satu sama lain. Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak. Ini dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur'an surat an-Nisa' 58. "apabila kamu memutuskan suatu perkara diantara manusia maka hendaklah engkau memutuskan dengan adil".
- Kedua: adil dalam arti seimbang. Disini keadilanidentik dengan kesesuaian. Dalam hal ini kesesuaian dan keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.
- Ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya.
- Keempat: keadilan yang dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil disini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi. Dalam hal ini Allah memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak memiliki sesuatau disisinya. Jadi, system pemerintahan
Islam yang ideal adalah system yang mencerminkan keadilan yang
meliputi persamaan hak didepan umum, keseimbangan (keproposionalan)
dalam memanage kekayaan alam misalnya, distribusi pembangunan, adanya
balancing power antara pihak pemerintah dengan rakyatnya.
Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan dalam pandangan al-Qur'an sangat dijunjung tinggi
termasuk dalam menentukan pilihan agama sekaligus. Namun demikian,
kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang
bertanggungjawab. Kebebasan disini juga kebebasan yang dibatasi oleh
kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap individu
dan bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam
segala bentuk fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan
segala cara asal konstitusional untuk melawan atas semua bentuk
pelanggaran.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak
sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam.
Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah
keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan
pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan
kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan,
dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu
dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu pertama, demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Kedua, rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Keempat,
suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi
pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika
mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang
tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan
tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar
tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya.
Kelima, musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan
ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh
Alquran dan Sunah. Keenam produk hukum dan kebijakan yang diambil
tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama. Ketujuh hukum dan kebijakan
tersebut harus dipatuhi oleh semua warga.
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas
terwujud, langkah yang harus dilakukan pertama, seluruh warga atau
sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam
sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan
didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam
secara baik.
DAFTAR PUSTAKA
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2007
Post a Comment for "DEMOKRASI DALAM ISLAM"